HAMZAH AL-FANSHURI

HAMZAH AL-FANSHURI

HAMZAH AL-FANSHURI - Salah satu kegelapan sejarah yang belum tuntas terungkap adalah tragedi yang menimpa Syech Hamzah Fansuri beserta para pengikutnya. Ratusan tahun kita terbelenggu oleh klaim yang menyatakan Fansuri membawa ajaran sesat karena mengajrkan paham Wahdatu Wujud. Menurut sumber-sumber sejarah, klaim sesat tersebut difatwakan oleh Nuruddin Ar-Raniry, yang menjadi Mufti Kerajaan semasa Sultan Iskandar Tsani. Oleh karena ajarannya sesat, maka kitab-kita karya Fansuri dibumihanguskn. Dan kita pun terperangkap pada opini yang menyalahkan Fansuri, padahal belum pernah mengetahui bagaimana isi ajaran itu secara substansial.

Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili dlm satu sektor. Dan bahagian lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul meniurut pandangan ahli tasawuf.Bahwa ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah mesra dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, dr kulit hingga daging, dari tulang hingga ke sumsum pencinta-pecintanya, yg tentu saja mereka mengadakan tantangan yang spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri.Bahkan kepada siapa saja yg berani menyalah-nyalahkan pegangan mereka. 
HAMZAH AL-FANSHURI
Area Makam Hamzah Al Fanshuri

Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i menganggap kedua guru mereka adalah wali Allah, yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat dan makrifat. Mereka beranggapan, walaupun diakui bahwa Syeikh Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir belaka.Bahawa beliau hanyalah mengetahui kulit ilmu tasawuf, tetapi tidak sampai kepada intipati tasawuf yang sebenar-benarnya. Bahwa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujjah belaka, tetapi belum mempunyai ilmu kalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yg bermanfaat. Oleh itu,wajiblah mereka membela guru mereka yg meraka sanjung tinggi itu.

Menurut Nab Bahany AS pd tulisannya, “Hamzah Fansuri Vs Ar-Raniry dan Wujudiyah” dalam buku Kumpulan Esai Takdir-takdir Fansuri (DKB, 2002), Hamzah Fansuri hidup dalam masa permulaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).Sebagai ulama dan ahli tasawuf, ia mempunyai murid yang amat banyak. Salah satu murid terbesar Hamzah ialah Syech Syamsuddin As-Sumatrani yang kemudian menjadi pelanjut ajaran Hamzah, sekaligus diangkat oleh Iskandar Muda menjadi Qadhi Malikul Adil (org ke-2 dalam kerajaan). 

Demikian Sultan Iskandar Muda mempercayai Syamsuddin. Jika apa yang dikatakan Nab Bahani dari mengutip berbagai sumber itu adalah benar, maka wajar bila muncul pertanyaan kenapa tuduhan sesat dialamatkan hanya kepada Hamzah Fansuri dan para pengikutnya, sedangkan Sultan Iskandar Muda kita puja puji sebagai raja paling agung dan mulia? Bukankah Sultan Iskandar Muda telah memberi tempat terhormat kepada Syamsuddin As-Sumatrani sebagai Qadhi Malikul Adil dalam kerajaan Aceh? Tidakkh hal ini menunjukkn Iskandar Muda juga sebagai salah satu pengikut ajaran Hamzah Fansuri melalui Syamsuddin As-Sumatrani, bahkan telah ikut mengantarkan kerajaan Islam Aceh pada puncak kegemilangannya bahkan menjadi kerajaan Islam terbesar nomor 5 di dunia pd masa itu.

Konon, ada pula yang menyebutkan Hamzah Fansuri masih memiliki pertalian darah dengan Malikussaleh, raja pertama yg memerintah Krajaan Pase.Sedangakn Ar-Raniry berasal dr India.

Jalan Menuju Makam

Bagaimana Syech Nuruddin Ar-Raniry mengkomunikasikn soal Wujudiyah dan mengklasifikasikn permasalahan antara Fansuri dan Iskandar Muda, sehingga Fansuri dituduh zindik (sesat) sedangkan Iskandar Muda diagung-agungkan? Bagaimana situasi politik kerajaan pada masa itu sehingga Syech Abdurrauf Syiah Kuala memilih sikap diam dan tetap berada di Makkah memperdalam ilmu pengetahuan Islam? Bahkan sangat ironi ketika tidak ditemukan catatan yang pasti dan akurat tentang dimana kedua tokoh ini (Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry) mengakhiri hidupnya.ada yaag berpendapat Hamzah Fansuri wafat ditiang gantungan dengan kitab-kitabnyaa di bakar di depan Mesjid Raya Baiturrahman.makamnya berada di Ujoeng Pancu Aceh Besar. sedangkan Nuruddin Arraniry menurut Karel A. Steenbrink dalam bukunnya,”Mencari Tuhan Dgn Kacamata Barat” berpendapat bahwa hingga tahun 1644 M Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu tajam antara beberapa kelompok pemerintah : Seorang uskup agung (ar-Raniri) di satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di pihak lain.Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. 

Tulisan Karel itu barangkali ada benarnya, karena secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku pernah kalah berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakn dalam kitab Fath al-Mubin. Mengenai Saiful Rijal, beliau adalah salah seorang murid Hamzah Fansuri yang berasal dari minangkabau, saat tragedi Sang Sufi Hamzah Fansuri dan para pengikutnya di hukum mati, beliau sedang berada di India dalam kajian pendalaman ilmu Agama.

Inilah Makam Sufi dan juga penyair Tasauf Termasyhur di Asia Tenggara Makamnya mencapai 8 meter. Di situ terdapat Makam beliau beserta dua muridnya.

HAMZAH AL-FANSHURI
Makam Hamzah Fanshuri, Photo Doc. http://haflahshalawataziziyah.wordpress.com

Setelah Arraniry disingkirkan Saiful rijar diangkat menjadi Mufti Kerajaan Aceh Darussalam oleh Ratu Safiatuddin yaitu istri dari Iskandar Tsani yang tak lain adalah anak dari Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam. Beliau adalah Ratu yang alim, cerdas serta bisa menguasai beberapa bahasa seperti arab, Urdu, Persia dan lain-lain. Dan sampai akhirnya kembali Tgk. Abdul Rauf Syiah Kuala dari tanah Arab serta menjabat sebagai Mufti Kerjaan Aceh sampe tiga ratu kemudian berturut-turut.

Dalam masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak menghalang kemajuan yang berasasan Islam. Sebaliknya masa pemerintahn Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata krajaan Aceh mulai menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijksanaan. Siapa saja yang memegang urusan keislaman janganlah salah penilaian, sering terjadi yang benar menjadi salah atau sebaliknya.


=============

Sumber foto : dokumen MAPESA (Masyarakat Peduli Sejarah)

No comments