MAKAM KUNO SULTAN JOHOR DI ACEH UTARA
MAKAM KUNO SULTAN JOHOR DI ACEH UTARA
Makam Kuno Sultan Johor di Aceh Utara |
MAKAM KUNO SULTAN JOHOR DI ACEH UTARA - Sebuah makam kuno Gampong Meunasah Mesjid Bluk kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara, berat dugaan adalah makam seorang Sultan Johor bernama `Ala`uddin Ri`ayah Syah. Purbasangka itu terbit manakala sebuah ekspedisi penelitian dua hari lalu, oleh Tim dari Yayasan Waqaf Nurul Islam Lhokseumawe. Pertimbangan itu berdasarkan keterangan dalam Hikayat Melayu atau Sulalatus Salatin bahwa Sultan `Ala`uddin Ri`ayat Syah telah mangkat di Aceh dan baginda berkedudukan di Pasai.
Ekspedisi penelitian yang dilakukan ke situs berjarak sekitar 3 km dari Pasar Geudong ini adalah dalam rangka menjajaki kemungkinan Sultan Johor, yang menurut Hikayat Melayu adalah kakanda dari Sultan Abdullah yang memerintah di Batu Sawar pada awal-awal abad ke-17 M, dimakamkan di Pasai, sebab beliau berkedudukan di Pasai dan wafat di sekitar tahun-tahun 1613. Demikian keterangan singkat yang dihimpun Rabu (6/5) dari peneliti sejarah kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad yang menyakini keterangan Hikayat Melayu tentang keberadaan Sultan Johor berkedudukan di Pasai dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh (1607-1636).
Kemungkinan besar lainnya, Sultan Aceh sudah memberikan kepadanya satu wewenang atas lokasi di Pasai yang dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana kediaman sebagaimana layaknya bagi seorang sultan yang dihormati. "Terkait perihal ini, gampong Meunasah Mesjid Bluk sendiri pun sangat mendukung kemungkinan itu," kata Taqi. Keyakinan itu pula didukung oleh suasana nyaman dan panorama yang masih menyisakan nuansa klasik, sebagai sebuah lokasi yang telah dihuni beratus tahun yang silam; bekas-bekas alur kecil semacam parit kuno yang berjejeran rerumpun bambu, melingkungi lokasi dan di beberapa tempat terdapat gundukan-gundukan kecil tanah berbidang datar, berikut nisan-nisan kuno.
Penelitian makam yang tepatnya berada di depan mesjid lama Bluk ini, katanya, dimaksudkan untuk menyelusuri kebenaran keterangan yang pernah diberikan oleh H. Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad yang berlandaskan sumber-sumber keterangan orang Belanda dan asing. Disebutkan di buku itu bahwa Sultan `Ala`uddin Ri`ayah Syah telah dihukum pancung di Aceh. Keterangan ini, menurut hemat Taqiyuddin, perlu ditinjau kembali, sebab tidak lepas dari maksud propaganda pihak penjajah atau Belanda yang ingin mengadu domba Aceh dengan Johor di masa-masa imperialisme Barat atas Asia Tenggara.
Sebagaimana diketahui, Aceh dan Johor adalah dua kekuatan muda yang amat menentukan dalam sejarah Asia Tenggara menggantikan peran Samudra Pasai dan Melaka pasca kejatuhannya. "Kedua kerajaan besar ini dikenal sangat anti-imperialisme Barat berikut monopoli dagang mereka yang sangat merugikan negeri-negeri di nusantara," ujarnya.
Johor yang dibangun dan diperintah oleh keturunan Sultan Mahmud, penguasa Melaka dalam masa penyerangan Portugis (1512), tentu menaruh sakit hati mendalam terhadap imperialisme bangsa kulit putih, yang telah menyebabkan mereka terusir dan harus berpindah-pindah dari satu negeri ke lainnya sampai dengan putera Sultan Mahmud mendirikan Johor Lama.
Sebetulnya banyak hal lain pula yang mengikat dan menyatukan Aceh dengan Johor begitu pula negeri-negeri lain di Semenanjung Melayu; agama, kekerabatan dan juga penentuan nasib bersama. Jadi, sukar diterima akal apabila `Ala`uddin Ri`ayat Syah yang mewakili Johor telah bersedia untuk bersukutu dengan Belanda kendatipun guna merebut Melaka dari tangan Portugis.
Namun kemudian, perkembangan politik di Johor telah memaksanya untuk bernaung di bawah sekutu kuatnya, yaitu Kerajaan Aceh Darussalam. Tatkala itu diperintah oleh seorang raja besar, Sultan Iskandar Muda. "Sayangnya sekali, tim tidak menemukan keterangan tegas mengenai pemilik makam pada epigrafi yang terdapat pada kedua nisan makam. Namun hal-ihwal itu tidak mengurangi nilai penting makam tersebut," tegasnya.
Dibantu oleh beberapa warga setempat yang amat antusias untuk mengetahui seluk beluk peninggalan sejarah mereka, Tim yang kali ini didanai oleh infak pribadi seorang pengusaha, Mukhlis, berhasil mengangkat kedua batu nisan yang masing-masing berukuran kira-kira 1,5 m yang sudah amblas ke tanah dan cuma menyisakan beberapa sentimeter bagian puncaknya di permukaan tanah. Kedua nisan itu, menurut Taqi, diletakkan kembali di atas makam setelah dibersihkan. Hadir pula ketika itu beberapa tokoh masyarakat setempat dan juga pemilik tanah. Makam peninggalan sejarah itu dipenuhi relief-relief kaligrafi, motif dan ornamen yang indah dengan pola khas periode Aceh Darussalam.
Sekalipun nisan dengan pola demikian, dan dikenal dengan Batu Aceh, banyak terdapat di ibukota Aceh, terutama di gampong Pandei, namun untuk Samudra Pasai, nisan dengan ketinggian nilai seni demikian terhitung jarang. Untuk kawasan Samudra Pasai, ini adalah makam kedua yang ditemukan setelah makam tunggal di Meunasah Ujong kecamatan Samudera dalam pola yang sama. Nisan-nisan ini jelasnya mewakili sebuah era sejarah di mana Samudra Pasai telah berada dalam kekuasaan Aceh Darussalam, serta merupakan negeri di bawah naungannya. Dari keunikan pahat-pahatan pada nisan makam di Bluk ini tampak jelas bahwa nisan tersebut diperuntukkan kepada seorang pembesar negeri.
Sultan `Ala`uddin Ri`ayat Syah yang merupakan tamu kehormatan Aceh Darussalam juga layak memperoleh nisan seperti itu. Tambah pula, pada nisan ini tidak dijumpai pengaruh unsur Syi`ah seperti pada salah satu nisan di situs Putro Neng yang memuat epigrafi berupa syair pujian (madh) kepada Saidina Ali bin Abi Thalib yang lazim pada makam-makam pengikut Syi`ah. Salah satu bait syair yang berulang-ulang dipahat pada nisan di Bluk adalah syair berbunyi: Ala kullu syai`in ma khala Allahi bathilun.. (ketahuilah bahwa segala sesuatu selain Allah itu tidak nyata dan tidak benar), yang juga banyak ditemui pada nisan-nisan era Samudra Pasai.
Di samping nilai-nilai religius yang terdapat pada makam ini, penting pula diperhatikan nilai-nilai kreatifitas seni yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan berbagai daya intelektualitas yang dimiliki orang Aceh kala itu sekaligus juga menggambarkan keadaan negeri yang aman dan makmur di mana kondisi yang demikian telah memungkinkan lahirnya karya seni yang begitu tinggi dan maju.
Maka makam ini amat perlu dirawat dan dipelihara. Selain sebagai salah satu monumen sejarah, seni-seni kaligrafi sekaligus zakhrafah-nya juga dapat dipelajari oleh generasi hari ini dan mendatang, apalagi bidang seni yang pernah menonjol di Aceh ini sekarang telah mulai pupus dan kurang digemari.
*******************
dikutip dari : www.melayuonline.com
Post a Comment