SEJARAH RAPAI GELENG

Sejarah Rapai Geleng


Sejarah Rapai Geleng
Penampilan Rapai Geleng Aceh


Oleh : Akmal MR
Sejarah Rapai Geleng - Rapai adalah salah satu alat tabuh seni dari Aceh. Rapai (rebana) terbagi kepada beberapa jenis permainan, rapai geleng salah satunya. Rapai Geleng dikembangkan oleh seorang anonim Aceh Selatan. Permainan Rapai Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat.
Terian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kustum dan gerak dasar dari unsur tarian meuseukat.
Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapai geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan. Saat itu Tarian Rapai Geleng di bawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik penonton yang sangat banyak.
Jenis tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada mayarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.
 Tarian Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
  1. Saleum (Salam)
  2. Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
  3. Lani (penutup)

Nama Rapai diadopsi dari nama Syeik Ripai yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini.
Syair yang dibawakan tergantung pada Syahi. Hingga sekarang syair-syair itu banyak yang dibuat baru namun tetap pada fungsinya yaitu berdakwah.
Contoh :
Rapai-i Geleng; Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh
Alhamdulilah Pujo Keu Tuhan


Nyang Peujeut Alam Langet Ngon Donya

Teuma Seulaweut Ateuh Janjongan

Panghulee Alam Rasul Ambiya

(Segala Puji kepada Tuhan


yang telah menciptakan langit dan dunia

selawat dan salam pada junjungan

penghulu alam Rasul Ambiya)

Nanggroe Aceh nyo Tempat loun lahee


Bak Ujoung Pantee Pulo Sumatra

Dilee Baroo Kon Lam jaro Kaphe

Jino Hana lee Aman sentosa…

(Daerah Aceh ini Tempat lahir ku


di ujung pantai pulau sumatera

Dulu berada di tangan penjajah

Kini telah aman dan sentosa)

Kostum yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah, serempak menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh. Gerakannya diikuti tabuhan rapai yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah cepat di iringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan. Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat.
Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan Agama, politik, sosial dan budaya mereka.



Pada gerakan lambat, ritme gerakan tarian rapa-i geleng tersebut coba memberi pesan semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang, penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan. Pesan dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa tergambar dari nukilan syair dari salah satu bagian tarian;
Meu nyo ka hana raseuki,


yang bak bibi roh u lua

Bek susah sare bek sedeh hatee,

tapie kee laen ta mita

(Kalau sudah tak ada rezeki,


yang sudah di bibirpun jatuh ke luar

jangan lah susah, jangalah bersedih hati,

mari kita pikirkan yang lain untuk di cari)

Kata “raseuki” yang bermakna “rezeki” dalam syair di atas, merupakan simbol dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh, orang yang melakukan perbuatan baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan. makna sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh mengartikan ketakberuntungan nasib mereka, dan ketakberuntungan itu merupakan permaafan.

Gerakan beritme Cepat adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan beritme lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang dimaknakan sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang atau institusi yang sama. Penyikapan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk apapun, tapi masih sebatas protes keras belaka. Seperti bunyi syair di bawah;
Hai Laot sa, ilak ombak meu


Aloun kapai die eik troun meu lumba

Lumba hai bacut teuk, salah bukon sa

Lah loun salah mu, lah poun awai bak gata

(Wahai Laut yang berombak


mengayunkan kapal naik dan turun

sedikit lagi kemasukan air, itu bukan salah ku,

engkaulah yang mengawalinya)


Gerakan beritme cepat ini tak lama, kemudian disusul dengan gerakan tari beritme sangat cepat mengisyaratkan chaos menjadi pilihan dalam pola perlawanan tingkat ketiga. Sebuah perlawanan disaat protes keras tak diambil peduli. Tetabuhan rapa-i pada gerakan beritme sangat cepat inipun seakan menjadi tetabuhan perang yang menghentak, menghantam seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang mewajibkan perlawanan dalam bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa terinjak-injak. Cuplikan sajak “perang” nya (alm) Maskirbi yang biasa dilantunkan menjadi syair dalam gerakan beritme cepat pada tarian rapai geleng ini bisa menjadi contoh sederetan syair-syair yang dijadikan pesan.




Doda idi hai doda idang

Geulayang balang ka putoh talo

Beureujang rayeuk banta sidang

Jak tulong prang musoh nanggro
(doda idi hai doda idang –nyanyian nina bobo untuk anak-


layangan sawah telah putus talinya

cepatlah besar wahai ananda

pergilah, perangi musuh negeri)




Pada titiknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk seluruh nyanyian syair. Ini merupakan gerakan akhir dari tarian. Gerakan diam merupakan gerakan yang melambangkan ketegasan, habisnya semua proses interaksi.

 Baca juga : Sejarah PERSIRAJA Banda Aceh




Sumber: Mandis-M Andi, Sabri Kasturi-Arie, Anton Sabang, Mandis, dan Juga dikutip dari beberapa sumber lainnya, Bisa juga anda baca di Sini

4 comments: