SEJARAH AGUNG BANGSA ACHEH


SEJARAH AGUNG BANGSA ACHEH

SEJARAH AGUNG BANGSA ACHEH
Sejarah Agung bangsa Aceh 

SEJARAH AGUNG BANGSA ACHEH


Oleh :
Al-Ustadz Hilmy Bakar Hasany Almascaty
Chairman The Acheh Renaissance Movement
President Acheh Red Crescent (Hilal Ahmar Asyi)



1. Pendahuluan dan Latar Belakang
Allah SWT di dalam al-Qur̢۪an telah memperingatkan kaum Muslim akan tindakan orang-orang kafir dan munafik yang tidak akan berhenti memerangi dan mendatangkan fitnah sehingga mereka mau mengikuti ajaran atau millah, pola hidup, pandangan orang-orang kafir. Dengan berbagai tipu daya, kafir dan munafik akan berusaha mengkerdilkan, mendiskreditkan bahkan membalik fakta dengan berbagai teori yang mereka rekayasa agar kaum Muslim asing dengan dirinya atau nenek moyang serta tradisi dan sejarah keagungan mereka. Coba kita membaca kembali sejarah Islam di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan sejarah perkembangan Islam di Acheh. Sejak sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi kita selalu dihadapkan dengan pengkaburan, penyesatan bahkan penipuan demi penipuan yang dilakukan oleh para orientalis kafir dari Spanyol, Pertugis, Belanda dan lainnya yang diikuti oleh antek-anteknya.

Kaum kafir dan antek-anteknya sangat faham akan pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa. Sejarah adalah ibarat nenek moyang bagi seorang manusia, jika tidak mengetahui siapa dan bagaimana nenek moyangnya, maka anak manusia inipun akan kehilangan jati dirinya. Itulah sebabnya Islam menganjurkan agar para pengikutnya mengetahui nasab mereka dan mentauladani perjuangan agung nenek moyang mereka, sebagaimana Muhammad Rasulullah yang selalu bangga dengan nenek moyang beliau Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang menjadi bapak bangsa Arab yang telah berhasil menggerakkan pembebasan dan pembangunan peradaban dunia dengan Islam. Maka alangkah naifnya, jika sebuah bangsa tidak mengetahui atau keliru tentang asal usul dan sejarah mereka.

Inilah yang telah dilakukan para bangsa penjajah, baik Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda dan penjajah-penjajah kafir lainnya. Setelah mereka menjajah sebuah bangsa, maka sejarah bangsa itu akan dihilangkan, dikaburkan dan dimanipulasi, sehingga generasi muda terpisah dengan sejarah dan tradisi nenek moyang mereka dengan segala keagungannya. Pada saat yang sama si penjajah menggantikan dengan sejarah yang mereka rekayasa, dengan maksud agar anak bangsa ini merasa rendah diri dan senantiasa mengangungkan penjajahnya. Itulah sebabnya peninggalan peradaban bangsa-bangsa Muslim yang menunjukkan keagungannya diboyong ke negaranya atau dimusnahkan agar tidak dapat dikenali lagi oleh generasi muda. Akibatnya generasi muda bangsa terjajah inipun tidak mengenal lagi keagungan tradisi dan peradaban mereka dan akhirnya tidak menimbulkan kebanggaan sebagai pewaris peradaban bangsanya.

Keagungan sejarah dan peradaban kaum Muslimin Nusantara yang telah berkembang pesat dalam bentuk pemikiran, budaya, seni, pengetahuan serta teknologi dinisbikan. Kaum Muslim sebelum kedatangan imperialis kolonialis kafir ini digambarkan sebagai sebuah bangsa primitif yang bar-bar, bertelanjang seperti orang Papua pake koteka dan perempuan kelihatan teteknya, yang kadang-kadang disorongkannya kepada babi peliharannya untuk menetek bersama anaknya. Bangsa Muslim yang sudah kosmopolit dan berhubungan dengan pusat peradaban di Mesir, Parsia ataupun Cina ini digambarkan sebagai bangsa sejenis monyet yang mereka juluki sebagai bangsa moor, yang masih melekat sampai saat ini kepada Muslim di Mindanau sebagai bangsa Moro. Seakan-akan kedatangan mereka yang menindas dan serakahlah yang telah menjadikan bangsa Muslim ini maju, padahal kenyataannya merekalah yang telah menghancurkan peradaban, memecah belah, mengadu domba, mengeksploitasi alamnya, memperbudak dan membodohi masyarakatnya, yang telah mengantarkan bangsa Muslim kembali pada titik terendah peradabannya.

Hal inilah yang telah dilakukan penjajah kafir terhadap bangsa-bangsa Muslim di Asia Tenggara, terutama di Acheh. Karena dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim Melayu lainnya, Acheh adalah pusat Islamisasi terawal di kawasan ini, dan menjadi bangsa Muslim pertama yang memerangi penjajah kafir dan antek-anteknya dengan semangat jihad fie sabilillah, menjadi benteng utama pertahanan Islam yang tidak pernah ditaklukkan penjajah kafir dan mampu mempertahankan wilayah kekuasannya dengan perjuangan yang penuh herois, sehingga mendatangkan kerugian yang besar kepada penjajah Belanda kafir sebagaimana dinyatakan petinggi Belanda Paul Van ̢۪t Veer, dalam De Acheh Oorlog; "Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda"
Para ahli sejarah, terutama yang selalu mengutip pendapat intelektual penjajah kafir, dan ironisnya menjadi materi pada literatur resmi pemerintah sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi, menyatakan bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara pada abad ke 12an Masehi dan Kerajaan Pasai yang berdiri pada awal abad ke 13 M dinyatakan sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara berdasarkan catatan perjalanan Marcopolo atau Ibnu Batutah. Meurah Silu yang terkenal dengan Sultan Malikus Salih digambarkan sebagai seorang muallaf yang baru masuk Islam setelah berkuasa, padahal silsilah beliau membuktikan bahwa nenek moyangnya berhubungan dengan keturunan Rasulullah melalui Imam Ja̢۪far Shadiq. Tindakan pengkaburan ini dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) yang terkenal sebagai pusat Islamisasi awal di Nusantara berada di Komboja dan tidak memiliki hubungan historis dengan Kerajaan Islam Acheh Darussalam, Kerajaan Islam Pasai ataupun Kerajaan Islam Perlak yang selanjutnya berperan sebagai pusat utama Islamisasi di alam Melayu Nusantara, termasuk Jawa. Padahal bukti-bukti menyatakan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) sebagaimana dinyatakan Raffless berada di Acheh, atau di sekitar daerah Peudada kabupaten Bireuen saat ini.

Maka untuk mencapai sebuah renaisans, kebangkitan kembali Acheh dengan segala keagungan dan kegemilangannya, sejarah muram Acheh yang dicitrakan para penjajah dan antek-anteknya harus didekonstruksi, dihancurkan berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan yang akan dianalisis bagian demi bagian secara detil. Dari hasil dekonstruksi inilah, sejarah Acheh direkonstruksi, dibangun kembali bagian demi bagiannya sebagaimana citra sebenarnya agar dapat menjadi spirit kebangkitan kembali yang dicita-citakan. Deconstruction for reconstruction.



2. Dekonstruksi Kegemilangan Acheh Pra-Islam

Para kolonialis Barat dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah merancang berbagai strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai masyarakat yang bodoh, tertinggal dan tidak memiliki harkat dan martabat. Salah satu cara efektif yang dilakukannya adalah dengan memotong sejarah peradaban bangsa yang dijajahnya. Peninggalan-peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Pertogis maupun Belanda telah membawa semua bukti peninggalan kegemilangan Islam Nusantara ke Eropa dengan alasan pengembangan pengetahuan.

Selanjutnya mereka menjalankan politik belah bambu dan pecah belah lalu menguasai. Sebagaimana yang mereka telah lakukan di Nusantara. Bangsa Muslim Nusantara dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan fanatisme jahiliyah menggantikan ghirah Islamiyah. Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya, diadu domba dengan saudaranya, seperti penjajah kaphe ini mengadu domba bangsa Padang dengan bangsa Acheh yang sama-sama diketahui sebagai pilar Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan untuk memerangi bangsa Acheh yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim, yang satu menjadi antek kaphe Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di Acheh yang dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda Muhammad Syarief, tokoh Padang yang akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi dari Ratu Belanda karena berhasil membantai saudara Muslimnya di Acheh.

Masyarakat Nusantara yang sudah tumbuh berkembang dengan keagungan peradabannya sejak beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para sejarawan kolonial sebagai sebuah bangsa bar-bar, nomaden, seperti keadaan orang-orang Papua di Lembah Baliem saat ini, yang telanjang dan tinggal di pohon-pohon. Padahal kenyataannya sangat jauh berbeda. Karena masyarakat Nusantara adalah salah satu rumpun bangsa tua yang telah berhasil membangun sebuah entitas budaya dan peradabannya sendiri, sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dari penemuan peninggalan-peninggalan situs sejarah dan benda-benda yang menyertainya dapat diketahui bahwa di Acheh pernah tumbuh berkembang sebuah peradaban yang digerakkan oleh Raja dari Kerajaan-Kerajaan Hindu seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra dan lain-lainnya.

Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke "tanah yang Kami berkati atasnya" (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon.

Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut "jalur sutra" (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi

Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan .

Ini artinya peradaban Acheh adalah diantara peradaban tua di wilayah Nusantara. Namun belum banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang kegemilangan masa lalu peradaban Acheh, yang menurut beberapa penelitian para ahli disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (i) belum diadakannya menggalian terhadap situs sejarah purba secara serius dan menyeluruh akibat pertimbangan politik ataupun konflik berkepanjangan (ii) hilangnya situs-situs penting, terutama dipinggir laut akibat terjadinya beberapa kali gelombang tsunami, sebagaimana tsunami 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan kota-kota purba Acheh yang umumnya dipinggir pantai yang berhadapan langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi tradisi sebagian masyarakat Acheh untuk memusnahkan peninggalan sejarah apabila sudah tidak dikehendaki penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran buku-buku ilmiyah karya Hamzah Fansuri dan ulama aliran Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman atas perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri, atau pembakaran Istana Super Megah yang didirikan Sultan Iskandar Muda, Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada masa Sultanah Inayat Syah. Dan terakhir adalah bumi hangus Istana pada zaman Sultan Muhammad Daud Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah Belanda.

Keadaan revolusioner dan dinamis yang terjadi di Acheh dari waktu ke waktu sepanjang 500 tahun terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin dan cendekiawan Acheh dalam memelihara peninggalan sejarahnya sehingga banyak yang terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja dihilangkan dengan alasan keamanan. Penulis beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara sumber yang memiliki peninggalan berharga berupa manuskrip penting, karena jika diketahui aparat akan diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak atau sparatis. Akibatnya banyak manuskrip-manuskrip penting peninggalan peradaban Acheh tertanam atau hilang.

Namun demikian, dari sumber-sumber sekunder dapat diketahui kembali, walaupun masih tingkat awal mula, tentang sejarah kegemilangan Acheh, terutama pada masa pra-Islam. Data-data tersebut sangat penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat peradaban dan pengetahuan masyarakat Acheh pra-Islam, baik zaman pra-Hindu-Budha ataupun sebelumnya. Mengingat letak geografi Acheh yang strategis sebagai laluan dalam perjalanan menuju pulau Jawa atau Timur Jauh lainnya dari sumber peradaban tua umat manusia, baik di sekitar Asia Tengah, Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di Jawa atau Kalimantan banyak ditemukan peradaban manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun.

Dari sumber-sumber sekunder, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ternyata Acheh memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban manusia. Salah satu bukti otentik yang tidak diragukan adalah perjalanan kapur Barus yang telah menembus peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik. Produk unggulan Barus-Acheh ini telah menjadi komuditas primadona dunia yang tinggi nilainya, sehingga megantarkan Acheh sebagai salah satu bagian dari kegemilangan dan ketinggian peradaban klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan manusia-manusia modern pada zaman itu ke Acheh telah membawa perubahan pada pengetahuan dan kebiasaan masyarakat, sebagaimana pengaruh kedatangan para relawan asing manca negara saat ini ke Acheh yang membawa berbagai bentuk pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan mereka sudah pasti akan membawa kemajuan dan kemakmuran kepada masyarakat Acheh, dan tidak diragukan bahwa kemakmuran akan mengantarkan kegemilangan peradaban umat manusia seperti apa yang dialami negara-negara maju seperti Amerika, Eropa maupun Jepang, India dan Cina saat ini.
Kegemilangan masyarakat Acheh yang telah berkembang pesat sebelum kedatangan Islam dengan pencapaian-pencapaian peradabannya telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Karena lebih mudah mengajarkan Islam yang sempurna dan menyeluruh kepada orang-orang yang berperadaban, berpengatahuan dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para pendakwah kita lebih mudah menyebarkan Islam kepada masyarakat modern di Amerika, Eropa ataupun Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua atau Kalimantan yang masih hidup telanjang dan jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar cerita dikalangan pendakwah, jika di Eropa orang-orang bule cerdik-pandai berlomba-lomba meninggalkan gereja dan masuk Islam karena alasan rasional dan sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri ini orang-orang bodoh dan tolol bisa diajak masuk gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar sabda Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan dan kemiskinan akan menjadikan orang mudah kepada kekafiran.

Masuknya Islam telah mengantarkan masyarakat Acheh sebagai bagian dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu̢۪l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Acheh, baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang datang ke Acheh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk mengajar di tengah masyarakat Acheh yang kosmopolit masa itu. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Acheh sebagai "Serambi Mekkah", sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah karena Acheh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Tradisi dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Acheh sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Acheh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari̢۪at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara.

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw telah berkata: "Sebaik-baik kamu pada zaman jahiliyah, akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk Islam". Ini adalah sebuah ungkapan yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah kegemilangan Islam yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada zaman pra-Islam, banyak sekali tokoh-tokoh berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang secara terang-terangan menentang Islam pada awal perkembangannya. Umar sendiri sempat mau membunuh Nabi Muhammad karena dianggapnya sebagai sumber perpecahan masyarakat Mekkah, namun akhirnya masuk Islam setelah membaca lembaran al-Qur̢۪an yang dirampasnya dari adiknya yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Umar adalah salah seorang pembela Islam yang berani dan telah menjadi Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula dengan Khalid yang sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami kekalahan di perang Uhud. Namun setelah Khalid masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan "Pedang Allah" yang telah menumbangkan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Romawi dan Parsia.

Masyarakat Arab sendiri sebelum kedatangan Islam adalah masyarakat yang terbelakang dari segi peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya, baik Mesir, Rumawi ataupun Persia. Bahkan al-Qur̢۪an sendiri menyebut masyarakat Arab di sekitar Mekkah sebagai Ummiyun, masyarakat yang tidak memiliki peradaban dan kekuasaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah jika terjadi musim kemarau panjang, mereka terkadang menjadi pengungsi dan pengemis di sekitar Kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Habsyah ataupun Parsia. Masyarakat Arab pra-Islam digambarkan sebagai sebuah suku bangsa kecil yang terpecah belah, miskin lagi terbelakang dengan hidup yang berpindah-pindah. Namun berkat Islam, bangsa yang kecil dan tidak diperhitungkan ini, dalam waktu kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi Muhammad, telah menjadi sebuah bangsa besar yang menggetarkan semua super power, dan akhirnya sejarah membuktikan bahwa semua super power itu tunduk kepada masyarakat ummy yang telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan spiritualitas dari keagungan nilai-nilai Islam. Selanjutnya umat Islam menjadi mercusuar peradaban manusia, yang menghubungkan peradaban klasik paganis menjadi peradaban modern rasionalis.

Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Acheh. Jika sebelum Islam mereka adalah sebuah bangsa yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan Islam akan mendorong lebih kencang kemajuan dan pencapaian peradaban mereka sebagaimana dicatat sejarah. Jika sebelum Islam masyarakat Acheh hanya sebuah kerajaan-kerajaan kecil dibawah perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka setelah Islam datang menyinari masyarakat Acheh, mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru yang pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara. Termasuk menjadi sebab utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, baik di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah mapan selama ribuan tahun. Pusat Islamisasi Nusantara Acheh digerakkan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam silih berganti yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 777 M oleh Sasaniah Salman, yang dilanjutkan perannya oleh Kerajaan Islam Perlak tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa bernama Meurah Syahr Nawi dikembangkan keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan keturunannya, disambung oleh Kerajaan Pasai pada abad XII yang didirikan keturunan Raja Jeumpa dan Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-Salih. dan seterusnya yang mulai mendapat kegemilangan pada masa Kerajaan Acheh Darussalam yang menggabungkan semua Kerajaan Islam Acheh, menggapai puncaknya keagungannya pada zaman Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang menguasai seluruh pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya serta menjadi pelindung Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai Sulu-Mindanao.

Demikian pula para Sultan Acheh ikut berperan aktif mendirikan Kerajaan Islam Jawa terbesar, baik Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam Perlak dan Pasai secara teratur dan berkala telah mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa yang digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi Muhammad silih berganti. Yang paling terkenal adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali Sembilan atau Wali Songo yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama beberapa keluarga dekat dan keponakannya seperti Sunan Ampel, Sunan Drajad, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur keturunan dan bermuara pada Imam Ja̢۪far Sadiq. Penaklukan mereka terhadap Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang dominan masa itu, tidak dilakukan secara perang konfrontatif mengingat kuatnya Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur perdagangan, perubahan sosial-budaya, pendidikan, dakwah dan yang paling strategis melalui jalur perkawinan.

Wali Songo mengawinkan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V dengan kader muslimah terbaiknya yang dikenal dengan nama "Puteri Champa", gadis cantik jelita dan cerdas, seorang Puteri Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang juga masih keponakan dari Sunan Ampel, yang ketika itu telah membuka lembaga kaderisasi dan pendidikan di Ampel Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putera bernama Raden Fatah, yang sejak kecil sudah diungsikan dari Istana Majapahit dan mendapat pendidikan langsung para Wali Songo, dan dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Sunan Ampel. Ketika dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi penguasa lokal di Demak, Jawa Tengah. Setelah menggalang kekuatan dan mendapat dukungan meluas, Wali Songo memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan. Sejak saat itu, dimulailah penaklukan demi penaklukan yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan mulai berdiri Kesultanan-Kesultanan Islam. Sementara Syarief Hidayatullah, tidak diragukan berasal dari keturunan keluarga besar Kesultanan Perlak-Pasai yang telah telah mendirikan Kesultanan Banten di Jawa bagian Barat.

Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi. menjuluki muslim nusantara, para pejuang Acheh sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of the Muslims have waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun bangsa yang paling pertama dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan hampir 500 tahun lebih masyarakat Muslim Acheh dibawah kepemimpinan para Sultan berperang silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis "kaphe" yang hendak menjajah Acheh dan menghilangkan dominasi Islam. Dengan gagah perkasa dan senjata apa adanya mereka bangkit berjihad fie sabilillah melawan tentara-tentara Salib dari Portugis maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa itu.

Akhirnya, sejarah kemanusiaan harus mengakui, Acheh dengan segala kegemilangan sejarah peradabannya sejak dahulu kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada bidangnya masing-masing yang tercatat dalam tinta emas sejarah umat manusia. Nama-nama besar dari Acheh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia, diantaranya seperti Syahriansyah Salman, Syahri Nuwi, Sultan Malikus Saleh, Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk. Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya̢۪ Dhien dan lain-lainnya


3. Dekonstruksi Teori Islamisasi Acheh Versi Snouck Hourgronje
Sehubungan dengan proses Islamisasi di Acheh, ada beberapa teori yang hingga kini masih sering didiskusikan, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Salah satunya adalah teori masuknya Islam ke Acheh dari Gujarat, disebut juga sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam di Acheh yang tidak mampu dijajah Belanda. Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dan Islam dengan sangat giat sampai ke Mesir dan Mekkah, mengaku sebagai seorang Ulama Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Teori yang diusung oleh Snouck ini mengatakan Islam masuk ke Nusantara, termasuk Acheh dari wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gujarat, Bengali. Ironisnya Teori ini masih dipakai dalam buku-buku sejarah sampai sekarang yang menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Dalam L̢۪arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck menyebutkan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India. Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck ,yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.

Teori Gujarat yang dikembangkan bahkan dipaksakan Snouck bersama antek-anteknya ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap sejarah dan jati di bangsa Acheh selanjutnya. Pengkerdilan ini telah memutuskan mata rantai spiritualitas keislaman yang telah berurat berakar pada tradisi, budaya dan peradaban Acheh sebagai tapak awal Islamisasi Nusantara. Dampak psikologis yang paling kentara adalah kesan bahwa Acheh adalah salah satu wilayah yang baru tersentuh Islam, yang maknanya bahwa perkembangan peradaban Islam di Acheh baru beberapa abad.

Untuk mendekonstruksi sejarah sekaligus menguak kepalsuan Teori Gujarat yang disampaikan antek penjajah Snouck ini, ada beberapa teori yang ingin penulis sampaikan, diantaranya adalah:



a. Teori Mekkah (Arab)

Salah satu teori Islamisasi Acheh yang paling populer dan memiliki kekuatan fakta adalah teori yang dikembangkan oleh para pakar dan cendekiawan Muslim dan mendapat dukungan di kalangan cendekiawan non Muslim, teori ini di kenal dengan Teori Mekkah (Arab). Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka.

Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi̢۪i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Sementara cendekiawan senior Nusantara, SMN. Al-Attas menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Al-Attas menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan "teori umum tentang Islamisasi Nusantara" yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu.

Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab.

Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia.

Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut "Teori Mekah" yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi̢۪i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII.

Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.


b. Teori Champa (Jeumpa) Versi Raffles

Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama "Jeumpa". Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek "Jawa". Jeumpa (Champa) biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan "Puteri Champa". Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang pamannya yang dikenal dengan Sunan Ampel di Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh.

Kerajaan Jeumpa Acheh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke "Pintou Rayeuk" (pintu besar.

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.

Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 777 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Acheh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir.

Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Acheh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Acheh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya syair :

Hamzah ini asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ̢۪ali
Daripada ̢۪Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu,
Tempatnya kapur di dalam kayu

Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Acheh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Acheh Darussalam.

Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Acheh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Menurut beberapa data dan analisis yang akan dikemukakan nanti, bahwa hubungan antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh berkaitan satu dengan lainnya. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.


c. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina

Peter Bellwood dalam Reader in Archaeology Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Dia menulis "Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London....". Sifat perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, "kerajaan-kerajaan kecil" yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut "jalur sutra" (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.

Seringnya terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat, terutama di sekitar di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. "Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi,"

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T̢۪hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni̢۪. Tan mi mo ni̢۪ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni̢۪ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.

Para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.

Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak).


d. Teori Barus-Fansur Acheh

Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW.

Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M), dan Ibn al-Baladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, orang-orang Arab menemukan kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian.

Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan ilmu kedokteran dari Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-obatan baru yang belum dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat ritual semata di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga mulai memperkenalkan zat yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip Ishaq ibn Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan berbagai fungsi dan kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang berbeda-beda. Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah, sebagai balsem, penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi, berbagai penyakit mata, sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra, mengontrol syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan lain-lain.

Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan.

Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena bahan ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi akibat badan kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi dengan minyak wangi dan pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun panas. Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu kafur menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan lebih bermanfaat."

Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk meneliti kegunaan kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran yang ditulis dalam bahasa Persia adalah buku Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-10 M), yang berjudul Kitab al-Abniya 'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran obat-obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-muta'alimin fi al-tibb (Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad ke-10) seorang mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10 M) berhasil mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep. Salah satunya adalah dalam penanggulanagn penularan penyakit pes.

Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam pengembangan ilmu kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius dari Amide dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan kafur dalam karyanya Libri Medicinales.

Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul al-rasail al-hikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-Rahasia Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus dan digunakan dalam pengasapan yang dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan Venus dari cahaya dan kecerahan; Venus memberi kebaikan dalam semua posisinya … di antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam badan manusia, perut dan usus yang dimilikinya; dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan kaf); di antara bahan murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust, tanaman fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum."

Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh Sindbad, sang petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi melewati gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon dapat membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang mengalir darinya dapat mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan tetesannya mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti al-Kafur al-Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur.

Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia.

Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"

Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit" . Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Acheh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka).

Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."

Pada tahun 943, Masudi mencatat: "Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi

'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: "Di Pulau Lamuri terdapat zarafa yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ".... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri."

Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku Cowan,"Lamuri," hal. 421.

Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025

Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India

.Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."

Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei:"Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan.

Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China.

Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara.

Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya: "Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain."

Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit.

Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: "Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Acheh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.

Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: "Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li.

Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Acheh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar (45) terletak antara Acheh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Acheh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…"

Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Acheh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".

Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Acheh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.

e. Teori Kaafuro Dalam al-Quran
Hubungan erat Acheh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di dalam al-Qur̢۪an. Sebagaimana diketahui al-Qur̢۪an adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira̢۪ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa al-Qur̢۪an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat membuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur̢۪an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undang-undang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur̢۪an. Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur̢۪an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur̢۪an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur̢۪an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur̢۪an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab.

Salah satu bahasa Acheh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir̢۪aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Acheh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Acheh.

Pada al-Qur̢۪an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, al-Qurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab pra-Islam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur̢۪an adalah kapur dari Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu .

Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar kata "kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima kasih. Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus atau kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga komoditi yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Nusantara .

Dengan terdapatnya kata kafur di dalam al-Quran, maka dapat diartikan bahwa daerah penghasil kafur yang paling populer di seluruh dunia, seperti Barus, Fansur, Lamri dan sekitarnya di wilayah Acheh, tentu telah berhubungan erat dengan masyarakat tempat al-Qur̢۪an diturunkan, yaitu masyarakat Arab. Saking populernya kafur dalam masyarakat Arab sebagai sebuah simbol kenikmatan, sehingga dimasukkan sebagai kata dalam al-Quran. Jika kita boleh mengambil hikmah dimasukkannya kata kafur ke dalam al-Quran, Sang Sumber al-Quran mudah-mudahan bermaksud untuk memberi perhatian dan kehormatan pada asal benda ini, Acheh, sebagai kawasan yang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama-Nya. Dan memang sejarah telah membuktikan bahwa Acheh telah menjadi tapak persemaian penting Islam di Nusantara yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan Islam yang sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi dan menggusur peran Hindu-Budha. Hanya Allah Yang Maha Tahu..........


f. Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman

Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal adil tersebut.

"Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,"

Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Nusantara. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.

g. Teori Kerajaan Islam Perlak
Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.

Wan Hussein Azmi dalam Islam di Acheh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.


Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.

Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.

Dari beberapa teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Acheh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari Barus-Fansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya.

Islamisasi Acheh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.

Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Acheh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Acheh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur̢۪an diturunkan. Pengaruh bahasa Acheh-Melayu dalam al-Qur̢۪an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam.

Hubungan baik antara masyarakat Acheh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Acheh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Acheh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja̢۪far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.

Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya diharapkan para cendekiawan Muslim dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, terutama Acheh sebagai serambi Mekkah.

Rekonstruksi Sejarah Acheh Untuk Kebangkitan dan Kegemilangan Peradaban

Untuk merekonstruksi, menyusun kembali kepingan-kepingan sejarah Acheh yang berserakan, menjadi sebuah gambaran sejarah yang jelas apa adanya bukanlah perkara mudah, mengingat sangat terbatasnya sumber-sumber rujukan yang dapat dipakai. Namun bagaimanapun sulitnya, sebuah penyusunan kembali sejarah sangat penting perannya dalam membangun sebuah jati diri masyarakat yang bercita-cita menggapai kegemilangan kembali seperti masyarakat Acheh. Berdasarkan data dan fakta yang ada, baik premer maupun sekunder, hendaklah mulai disusun sebuah rancang bangun sejarah Acheh yang akan menjadi cerminan masa depan. Karena seperti kata TS. Elliot, masa lalu adalah cermin masa kini yang akan mempengaruhi masa depan. Bagaimana kita akan melihat sosok bangsa dan masyarakat kita, jika cerminnya sendiri tidak ada.

Hal terpenting yang perlu direkonstruksi adalah peran Islam dalam sejarah pembangunan peradaban Acheh. Karena masa depan kegemilangan Acheh terletak sejauh mana komitmen interaksi masyarakatnya dengan Islam. Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa puncak kegemilangan Islam dalam sepanjang sejarahnya adalah ketika para pemimpin yang dalam hal ini diwakili oleh para Sultan sebelum Sultan Iskandar Muda dengan para cendekiawannya, dalam hal ini diwakili oleh Hamzah Fansuri dilanjutkan Syamsuddin Sumatrani mampu membangun sebuah kolaborasi gerakan sinergis dan mampu merumuskan sebuah teologi kebangkitan berdasarkan Islam yang diterapkan kepada masyarakat Acheh sehingga mereka menjadi sebuah masyarakat kosmopolit yang berperadaban, berpengetahuan dan memiliki kemakmuran dan tentunya sekaligus memperoleh keadilan dan keamanan.

Bahwa segala pencapaian kegemilangan peradaban Acheh pada masa Sultan Iskandar Muda adalah sebuah produk dari pemahaman dan penerapan Islam secara benar dan tepat kepada masyarakat. Sama halnya, kebangkitan masyarakat Arab yang tertindas menjadi masyarakat Madani semata-mata karena berdasarkan spirit Islam yang dibawa Rasulullah dan diteruskan Para Khalifah dan pemimpin spiritual. Itulah sebabnya bangsa Arab terpuruk saat ini dan tidak pernah mengalami kebangkitan karena mereka mencampakkan spirit Islam dan menggantikannya dengan faham yang asing bagi tradisi dan dinamika pergerakan masyarakat mereka, baik faham sekulerisme, sosialisme, kapitalisme, nasionalisme dan sejenisnya yang menambah keterpurukan dan keterbelakangan mereka. Inilah pula yang telah menimpa Turki pasca tumbangnya Khalifah yang digantikan Kemal Attaturk dan mengarahkan bangsanya pada sekulerisme. Sampai saat ini bangsa Turki tidak pernah mencapai kemajuannya sebagai masyarakat Barat, karena jiwa mereka bertentangan dengan pola hidup sekuler mereka. Kegersangan jiwa masyarakat inilah yang akhirnya mengantarkan faksi Islam konservatip memenangi pemilihan Presiden ataupun Perdana Menteri.

Pengalaman pahit yang telah menimpa sebagian besar bangsa-bangsa Muslim yang pernah menjadi pusat mercusuar peradaban Islam seperti Mesir, Bagdad, Parsia, Pakistan, Turki dan lainnya, harus menjadi cerminan para pemimpin dan cendekiawan Acheh. Kegagalan demi kegagalan mereka dalam membangkitkan masyarakatnya akibat menerapkan faham yang tidak sesuai dengan jiwa dan nurani masyarakat, jangan diulang kembali pada masyarakat Acheh, cukuplah kita belajar dari kegagalan mereka dan jangan termasuk barisan yang gagal. Sebuah sistem hidup yang sekuler mungkin sesuai dengan masyarakat Barat, baik di Eropa dan Amerika dan terbukti telah mengantarkan mereka menuju renaisans dan menggapai kegemilangan sebagai bangsa yang maju dan makmur. Tapi menerapkan faham sekulerisme dengan segala derivatifnya kepada masyarakat yang telah memiliki akar tradisi dengan Islam, justru akan menghancurkan nilai-nilai rohaniah, sekaligus menimbulkan kerancuan demi kerancuan yang berakibat fatal yang tidak akan pernah mengantarkan masyarakat menuju kebangkitan dan kegemilangannya. Cukuplah kegagalan itu menimpa Mesir atau Turki, jangan diulang pada masyarakat Acheh yang selama ini penuh ujian dan cobaan.

Artinya, jika kita ingin membangkitkan kembali kegemilangan masyarakat Acheh, maka jalan satu-satunya hanya dengan Islam. Islam yang sesuai dengan tradisi, budaya, peradaban, watak, dinamika dan karakter masyarakat Acheh. Bukan penafsiran-penafsiran Islam yang telah mengalami bias masyarakat tertentu yang diimpor darimanapun. Kita membutuhkan Islam yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, Islam yang sesuai dengan masyarakat Acheh, Islam yang telah mengangkat harkat dan martabat nenek moyang mereka dahulu menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah Islam yang dibumikan atas realitas masyarakat Acheh, sebuah Islam ala manhaj Asyi, Islam yang tumbuh atas dasar metode keachehan. Islam yang progresif, dinamis, membebaskan dan mengantarkan menuju kegemilangan sejati.



Kerajaan Jeumpa Acheh, Kerajaan Islam Pertama Di Nusantara

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Acheh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. "Kafur Barus", "Kafur Fansur", "Kafur Barus min Fansur" yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.

Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian ataupun sebagai barang sakral dalam ritual keagamaan pagan, menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat. Tentu dari para petani, pedagang sampai para pengolah, peneliti, tabib sampai tukang sihir terlibat dalam proses pembuatan kafur yang bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Acheh berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.

Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan Arab lebih dominan, relatif lebih mudah dalam menerima kedatangan Islam, dengan beberapa alasan (i) sumber utama al-Qur̢۪an dan pengajarannya menggunakan bahasa Arab, yang tentu lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Arab seperti keturunan Arab yang sudah menyebar di sepanjang Barus-Fansur-Lamuri, (ii) hukum, budaya, pola hidup ataupun tradisi yang dibawa Islam lebih dekat dengan kebiasaan orang Arab yang memang sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang merupakan bapak kaum Arab, sehingga keturunan Arab pra-Islam ini mudah langsung mengikutinya karena sudah menjadi kebiasaan hidupnya, (iii) semangat kekeluargaan dan kesukuan sangat tinggi di kalangan bangsa Arab, termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati dan menghargai sesamanya, itulah sebabnya banyak orang Arab yang membela Rasul walaupun tidak masuk Islam, inilah yang terjadi pada keturunan perantauan Arab ini, ada kebanggaan kesukuan memeluk agama Islam yang dibawa dari tanah leluhurnya daripada mengikuti ajaran lain, (iv) tentu ajaran Islam yang rasional, adil, menawarkan persamaan kedudukan dan status menjadi daya tarik bagi masyarakat kosmopolit yang telah berbaur dengan berbagai peradaban besar sebagaimana yang dialami keturunan Arab (v) disamping kepandaian dan ketampanan para pembawa Islam keturunan Arab telah membuat jatuh hati para Raja dan Meurah, mengangkat mereka jadi menantu, penasihat atau panglima dan ada yang menggantikan kedudukan Raja atas dukungan komunitas Arab yang memang sudah mapan dan memiliki kedudukan terhormat.

Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang di Acheh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Acheh yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama "Barousai", yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Acheh.

Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke Cina yang meninggal di sana. Di samping untuk berdakwah tentu untuk memberikan sebuah tawaran umum para Khalifah kepada semua Raja: "Engkau memeluk Islam, artinya bersaudara dengan kami, jika tidak engkau membayar jizyah sebagai tanda ketundukan pada Islam, jika engkau menolak keduanya, berarti akan terjadi peperangan, karena sabda Nabi saw : "Aku diperintah memerangi manusia pembangkang sehingga mereka mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya". Cina menjadi salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.

Bukti-bukti ilmiah telah ditemukan bahwa perdagangan antara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat atau "jalur sutra" (silk road), terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan Eropa, adalah jalur tertua yang di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Nusantara, melalui Selat Malaka (Fansur) ke India; selanjutnya ke Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.

Gangguan-gangguan keamanan sering terjadi pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka/Fansur) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya, pedagang-pedagang Fansur atau Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina, dan pantai timur Afrika.

Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.

Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Jeumpa Acheh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.

Kerajaan Jeumpa Acheh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke "Pintou Rayeuk" (pintu besar).

Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.

Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Acheh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja, dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama "Champia", yang artinya harum, wangi dan semerbak.

Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.

Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah memeluk Islam. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal keturunannya. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Acheh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Karena (i) beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada moyang perempuannya Puteri Syahr Banun, Puteri Maharaja Kerajaan Parsi yang menjadi istri Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah bin Muhammad Rasulullah saw (ii) beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja̢۪far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini (iii) anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab Syi̢۪ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.

Terlepas dari perbedaan nama Raja pertama dari Kerajaan Islam Jeumpa tersebut, apakah Raja Abdullah atau Raja Salman, atau memang beliau menggunakan dua nama akibat menghindar dari kejaran para Penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi, atau memang Pangeran Salman adalah bapak daripada Raja Abdullah, namun yang penting disepakati bahwa Islam telah bertapak di Kerajaan Jeumpa yang dipimpin oleh seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang Muslim juga. Ini artinya Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150an Hijriah di wilayah Acheh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya. Hal ini jelas bertentangan dengan teori yang berkembang selama ini bahwa Islam masuk ke Acheh pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan, (i) beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana, (ii) beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), (iii) keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan (iv) menghindar dari pandangan penguasa.

Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia. Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiran agar tidak terlalu menyolok dalam membangun kekuatan baru sebagai basis perjuangan Islamisasi dan membangun dinasti Ahlul Bayt di Nusantara. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.

Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.

Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.

Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel. Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.

Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Acheh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Acheh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Acheh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Acheh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Achehlah yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Acheh Darussalam.

Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.



6. Kerajaan Islam Perlak

Setelah dewasa Syahri Nuwi, salah seorang anak Pengeran Salman, Raja Kerajaan Islam Jeumpa telah berhasil mengembangkan sebuah perkampungan pelabuhan yang dihuni para pedagang keturunan Arab, Parsi, India dan lainnya di sekitar wilayah Perlak yang pada waktu itu sekitar tahun 805 menjadi sebuah kota pelabuhan yang sedang berkembang pesat. Dengan bimbingan dari ayahnya, Syahri Nuwi kemudian berhasil mengembangkan pelabuhan kecil ini menjadi sebuah bandar baru yang banyak disinggahi para pedagang dari seluruh penjuru dunia, terutama dari Arab, Persia, India dan Cina. Sejak saat itu, Bandar Perlak menjadi salah satu bandar terpenting di pulau Sumatra, bahkan menggantikan peranan Bandar Fansur ataupun Barus sebagai tempat persinggahan para pedagang yang belayar dari Cina menuju Arab maupun Eropa. Kepemimpinannya yang menonjol telah mengantarkan Syahri Nuwi menjadi penguasa baru di Kerajaan yang diberikannya nama dengan Kerajaan Peureulak (Perlak) dengan gelar Meurah Syahri Nuwi.

Di bawah kepemimpinannya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.

Wan Hussein Azmi dalam Islam di Acheh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.

Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.

Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.

Pertanyaannya adalah, kenapa rombongan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh para Keturunan Nabi Muhammad saw dan para pendukung setianya, baik dari Arab maupun Persia, yang datang dari Semenanjung Arabia itu memilih Perlak sebagai persinggahannya? Apakah mereka datang secara kebetulan dan mendarat sekenanya di Perlak kemudian berhasil merebut hati Meurah Perlak, dan selanjutnya keturunan mereka menjadi Sultan?

Menurut analisis penulis, bahwa kedatangan rombongan ini bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Namun merupakan sebuah perencanaan besar dari para pemimpin Ahlul Bayt saat itu yang sedang mencari wilayah baru bagi perkembangan Islam dan tentunya sebuah kerajaan yang mampu melindungi eksisitensi Ahlul Bayt sebagai sebuah entitas yang diamanahkan Allah dan Rasul-Nya sebagai penjaga Islam sepanjang masa.

Dalam sebuah hadits (hadits tsaqolain) yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur̢۪an dan Sunnah) dan Itrah (Ahlul Bayt/keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah dengan umatnya, sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan keluarga keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul mendapat kehormatan dan kedudukan masyarakat Muslim dimanapun mereka datang, baik di Persia, Afrika, Mesir, India, Cina dan tentunya termasuk di alam Nusantara. Apalagi di sepanjang pulau pesisir pulau Sumatra sudah tumbuh perkampungan-perkampungan Arab ataupun Parsia sebelum kedatangan Islam, yang nantinya menjadi pendorong lahirnya Kerajaan Islam setelah kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Muslim.

Ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara, baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua sekarang. Ditengarai, generasi awal datang dari Persia sekitar akhir abad pertama Hijriah atau sekitar abad VII Masehi, yang mendirikan kerajaan di sekitar Acheh-Sumatra, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Perlak dan Pasai. Jika diurut silsilah para Sultan di Nusantara, sebagian besar akan bertemu pada jalur Imam Ja̢۪far Sadiq yang sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw, baik Maulana Abdul Aziz Syah (Perlak), Sultan Malik al-Shalih (Pasai), Mughayat Syah (Acheh), Syarif Hidayatullah (Banten), Sultan Wan Abdullah (Kelantan) dan lain-lainnya. Dan tidak diragukan, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, diantara mereka senantiasa memelihara kekerabatan dan saling topang menopang dalam menegakkan Islam dalam sebuah jaringan Ahlul Bayt. Tokoh-tokoh Ahlul Bayt yang sudah memegang kekuasaan segera akan memberikan bantuan kepada yang lainnya.

Ketika Ahlul Bayt di Semenanjung Arabia tengah mendapat kesulitan pada zaman Maulana Muhammad bin Ja̢۪far Shidiq, maka segera keluarga mereka yang sudah mapan meminta kedatangan mereka ke Perlak yang tengah membangun kekuatan baru di bawah pimpinan generasi yang lebih awal datang, dalam hal ini Syahri Nuwi anak daripada Pangeran Salman yang datang dari Persia, yang tidak diragukan memiliki hubungan kekerabatan dengan rombongan yang datang. Itulah sebabnya Syahri Nuwi menikahkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan Maulana Ali bin Muhammad bin Ja̢۪far Shidiq. Perkawinan dua keluarga besar Ahlul Bayt ini telah melahirkan generasi baru, Maulana Abdul Aziz, yang dinobatkan menjadi Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, yang akhirnya menjadi pusat pergerakan

Islamisasi di Nusantara, sekaligus menjadi penghubung dengan dinasti-dinasti Ahlul Bayt di seluruh dunia.

Dan tidak diragukan bahwa perkembangan Kerajaan Perlak menjadi sebuah kota kosmopolitan baru di pesisir pulau Sumatra tidak lain disebabkan oleh kedatangan para pendukung Ahlul Bayt dari seluruh penjuru dunia untuk membesarkan Kerajaan Islam di Nusantara ini. Dengan segala kepakaran, pengetahuan, jaringan, logistik dan potensi lainnya yang mereka miliki, mereka curahkan untuk membangun sebuah pusat pergerakan baru bagi pertumbuhan Islam di Nusantara khususnya. Berbeda halnya dengan Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan lebih awal oleh para Ahlul Bayt secara sembunyi dan tidak diekspose, Kerajaan Perlak didirikan dengan kemegahan dan terang-terangan memberikan gelar Sayyid Maulana kepada Sultannya, sebagai sebuah proklamasi Kerajaan yang dipimpin Ahlul Bayt. Selanjutnya kegemilangan Kerajaan Islam Perlak dipimpin oleh Sultan keturunan dari Maulana Muhammad bin Ja̢۪far Shadiq dan secara berganti dilanjutkan oleh keturunan dari Syahri Nuwi yang telah menggunakan gelar Makhdum, yang juga merupakan keluarga besar Ahlul Bayt.

Terkadang para peneliti sejarah Islam terjebak dalam kebingungan peristilahan ini, akibat ketidakfahaman mereka dengan jaringan keluarga Ahlul Bayt yang sangat mengutamakan kekerabatan dan silaturrahmi di kalangan mereka. Pergantian dari satu Sultan dengan Sultan lainnya adalah hal yang biasa dalam dinamika kekuasaan Ahlul Bayt yang mengutamakan kualitas personal pemimpinnya. Contoh nyata adalah bagaimana Syahri Nuwi rela menyerahkan kepemimpinan Kerajaan Perlak yang berkembang pesat kepada keponakannya, Maulana Abdul Aziz, dan setelah beberapa generasi Perlak dipimpin oleh keturunan Makhdum dari keluarga Syahri Nuwi kembali. Hal ini dinilai sebagai sebuah perebutan kekuasaan diantara para Sultan jika tidak dilihat dari sebuah perancangan besar dinasti Ahlul Bayt secara menyeluruh yang memiliki hirarki dan kepemimpinan spiritual sambung menyambung.

Kerajaan Perlak telah menjadi basis Islamisasi Nusantara pada zamannya yang berhasil mengirim para pendakwah dan pembimbing Islam ke penjuru Nusantara. Namun sejauh ini, Kerajaan Perlak belum berhasil secara totalitas mengsilamkan beberapa Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa yang menjadi penghalang utama Islamisasi Nusantara. Namun Kerajaan Islam Perlak telah berhasil membangun infrastruktur dan jaringan Islamisasi yang akan memudahkan Kerajaan Islam selanjutnya dalam mengislamisasikan Nusantara, sekaligus menghancurkan dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan sekitarnya. Pada saat bersamaan, telah tumbuh pula pusat-pusat bandar Islam berpotensi yang dikembangkan oleh para keturunan dinasti Ahlul Bayt terdahulu, diantaranya adalah Pasai, yang akan melanjutkan peranan Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat Islamisasi Nusantara.

7. Kerajaan Islam Pasai
Salah seorang keturunan dari Sultan Perlak, bernama Meurah Silu yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w.1297 M) kemudian mendirikan Kerajaan Islam Pasai, yang pada akhirnya menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak yang mulai menurun peranannya pada awal abad ke 13 Masehi. Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang menyatakan bahwa Meurah Silu bukan terlahir sebagai seorang Muslim, namun dia menganut Islam sesudah menjadi Raja Pasai. Realitas ini sungguh bertentangan dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah Silu (Malik al-Salih) menyambung kepada keturunan Ja̢۪far Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Muhammad saw. Dengan demikian jelas beliau adalah salah seorang Ahlul Bayt Nabi Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan para Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang menjadi penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik al-Salih begitu tampil memimpin Kerajaan Pasai dan memproklamirkannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara menggantikan peranan Kerajaan Perlak.

Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan yang menjadi bandar transit bagi para pedagang yang menggunakan kapal layar dari negeri Arab menuju Cina ataupun sebaliknya. Namun dengan kemunculan Kerajaan Pasai pada awal abad 13 Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah terjadi perubahan drastis dalam lalu lintas perdagangan di selat Malaka. Acheh yang dahulunya dikenal sebagai daerah penghubung, kini menjadi lebih aktif dalam perdagangan. Kerajaan Pasai menjadi pusat perdagangan dalam mengekspor hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada adalah diantara hasil pertanian yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa, Arab dan Cina, yang telah menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia yang mendorong hadirnya saudagar-saudagar asing dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari seluruh dunia datang membawa bermacam-macam dagangan untuk diperjual-belikan di pelabuhan Pasai.

Di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Salih yang memiliki kemampuan besar kepemimpinan serta berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan Pasai berkembang pesat bukan hanya sebagai bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai komuditas di kawasan Selat Malaka pada saat itu, namun beliau mendorong rakyatnya menguasai berbagai teknologi. Dan terbukti masyarakatnya tergolong memiliki teknologi yang maju, khususnya dalam teknologi pertanian. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai menjadi salah satu negeri pengekspor berbagai bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang, semangka, pisang, tebu, jeruk dan lain-lainnya.

Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya di bawah kepemimpinan keturunan beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah digariskan para pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi Nusantara. Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah diadakan secara luas dengan Tiongkok dan India. Sultan Malik al-Zahir, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Setiap hari jum̢۪at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai.

Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki kerajaan-kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat Islamisasi di Nusantara. Diantaranya adalah dengan menangkap salah seorang Sultannya dan ditawan di negeri Siam (Thailand). Demikian pula, pada pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak. Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang terkuat di Nusantara.

Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para muballigh ke tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Malaka, Jawa dan Patani. Tetapi juga sebagai pusat pengajian Islam di mana berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-masalah agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan datang dari daerah-daerah sekitar Nusantara. Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak telah menulis sebuah buku berjudul Durr al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah bab ketiga tentang af̢۪al Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan. Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun sudah mencapai pembahasan yang bersifat "esoterik" sebagaimana yang dibuktikan dengan beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang telah mengutus Tun Bija Wangsa.

Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam Nusantara, tempat berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman di Nusantara. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara sebagai pusat rujukan dan fatwa yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai telah tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain.

Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor penggerak Islamisasi di Nusantara, terutama menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol, sehingga banyak menarik minat para Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di antara tokoh yang nantinya sangat berpengaruh dalam Islamisasi Nusantara, khususnya Islamisasi Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-Budha, adalah Saiyid Hussein Jamadul Kubra dengan dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana Malik Ibrahim yang datang dari derah Samarkand, Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama dan Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman, Hadramaut, Maroko (Maghribi), Persia maupun India dan lain-lainnya, benar-benar telah menjadikan Pasai sebagai poros baru peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran keislaman atau selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakan-gerakan seperti Wali Songo yang telah mengislamkan tanah Jawa.



8. Ketika Kerajaan Islam Pasai-Acheh Menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit

Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Acheh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan "Kronika Pasai", bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gadjah Mada yang telah menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh dalam proses Islamisasi di Nusantara.

Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Acheh telah berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal sebenarnya "Puteri Champa" yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa.

Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih konfius dengan keberadaan Kerajaan "Champa", negeri asal "Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu" yang dianggap memiliki peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan "Champa", ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kambodia-Vietnam sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Acheh dalam Islamisasi Nusantara. Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kambodia-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah di Acheh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh. Namun ada teori lain tentang Champa ini.

Teori yang akan dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java. Teori Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama "Jeumpa". Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek "Jawa", karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh.

"Putri Champa" biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

"Sang Putri Penakluk" ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah dengan Laksamana Malahayati, Tjut Nya̢۪ Dhien, Tjut Mutia dan para wanita pejuang agung Acheh lainnya. Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya. Dengan takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak dikenal dengan Raden Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya........

Dari negeri manakah gerangan "Sang Puteri Penakluk" yang telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, sebagai seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da̢۪i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran bangsa Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu. Tradisi dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya sebagai seorang wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan kemerdekaannya demi kejayaan Islam agamanya. Pendidikan apakah yang diterimanya sehingga berani menerjang medan laga menghadapi benteng super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?

Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya "Putri Champa Penakluk Majapahit", maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Acheh maupun Kambodia.

Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392

Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir.

Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim, atau memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti.

Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.

Sementara catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M. Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.

Jadi Raja Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.

Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung "Puteri Champa". Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah "Puteri Champa" itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di "Champa" yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?. Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.

Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren .."Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal." (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M".

Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh yang dikenal sebagai "Puteri Raja Champa", yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.

Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa "segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.

Populeritas Jeumpa (Acheh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Acheh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Acheh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen. Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut "Champa") sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja̢۪far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak. Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Acheh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.

Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina, kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab, India atau Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama yang dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan karya Abu Ishaq, kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.

Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah, khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara. Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Acheh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.

Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri .Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula. Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa "Champa" yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal "Puteri Champa" atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, "Champa" berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.

Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.

Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.

Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Puteri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Puteri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu Palembang. Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.

Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.






sebuah thread yang postingan Zulfah

No comments